Hello ^^

Apa yang saya tulis semuanya berasal dari hati dan pikiran.
Apa yang saya tulis tidaklah selalu 'saya' dan apa yang anda baca tidaklah selalu 'anda' :)

Saturday, 14 January 2012

Gue adalah seorang pemusik ...


Gue adalah seorang pemusik, semenjak SMP gue bercita-cita menjadi seorang pemusik. Saat ini gue sudah bisa mencapai cita-cita gue itu. Gue menjadi salah satu personil dari grup band indie di Jakarta. Gue sudah sering mendapatkan kesempatan untuk mengisi beberapa acara besar yang ada diJakarta, bahkan sesekali gue dan anggota band gue mengisi acara yang berada di luar kota. Kehidupan gue selalu identik dengan suara-suara yang berirama. Setiap hari gue mendengarkan musik bahkan bila gue memiliki inspirasi gue bisa membuat lagu. Tapi untuk membuat lagu diperlukaan saat-saat tertentu. Misalnya ketika gue memiliki perasaan yang sangat ingin gue ceritakan, ketika gue melihat sesuatu dan ingin gue abadikan melalui musik. Atau ketika gue mengalami momen-momen indah dengan orang-orang yang gue sayangi. Gue bangga dengan keberadaan gue sebagai seorang pemusik, karena musik dapat memberikan inspirasi terhadap semua orang, bukan hanya melalui tulisan saja, namun kebanyakan melalui suara-suara yang bisa membuat hati merasakannya. Banyak orang yang merasa kesepian tanpa musik, banyak orang yang tidak bisa mengawali haari-harinya tanpa musik. Mereka menganggap musik sebagai perwakilan dari apa yang mereka rasakan. Tulisan yang dibuat menjadi lirik kemudian disempurnakan dengan aransmen melodinya, itulah musik.Tapi saat ini berbeda, gue menatap musik sebagai mimpi buruk,walaupun awalnya gue mencintai musik. Namun semenjak saat itu ....
Hari ini adalah penampilan perdana band gue, kami semua melakukan persiapan yang tidak biasa-biasa saja. Setiap hari kami latihan, gue sebagai pemain bass juga memainkan bass dengan sepenuh hati. Selain mempersiapkan penampilan, kami juga mempersiapkan kesehatan kami. Untuk gue sendiri, selalu mendapat dukungan dari Ayah dan Ibu, juga Rara. Rara itu pacar gue, kita udah pacaran selama 8 bulan, baru yah? Tapi gue berharap bisa mempertahankannya sampai waktu habis. Rara selalu bisa jadi yang terbaik buat gue. Kalau gue lagi sedih, kalau gue lagi bete, Rara selalu bisa ngebalikin mood gue jadi membaik. Rara juga menjadi salah satu Inspirator gue. Yang ngebuat gue bangga punya Rara adalah dia pintar dalam merangkai kata-kata. Gue selalu minta dia untuk ngebuatin gue lirik, yang kemudian gue buatkan instrumennya. Rara adalah sosok yang terbaik yang pernah gue miliki. Baru kali ini gue ketemu cewek yang begitu terlihat sempurna dimata gue, yah gue akui memang nggak ada manusia sempurna di dunia ini, namun Rara bisa menjadi bagian yang membuat gue sempurna.
“Bima, hari ini cewek lo nggak nonton penampilan lo?.” Tanya pemain gitar band gue.
“Dateng, tapi dia bareng sama sahabatnya, katanya nganterin sahabatnya ke Rumah Sakit dulu.” Jawab gue
Hari ini Rara berencana datang untuk melihat penampilan gue, setiap gue tampil Rara memang selalu nonoton. Hanya saja kali ini Rara nggak berangkat bareng dengan gue. Katanya mau nganter Desy, sahabatnya ke Rumah Sakit dulu. Karena gue harus siap-siap sebelum tampil, gue nggak bisa nemenin dia ke Rumah Sakit. Tapi satu jam menjelang gue tampil Rara nggak datang juga. Gue mencoba menghubingi Handphonenya tapi nggak diangkat. Apa mungkin dia masih dijalan? Gue agak sedikit gelisah. Nggak biasanya Rara sampai nggak angkat telpon gue. Namun gue berusaha untuk percaya bahwa nggak terjadi apa-apa dengan Rara.
Lima belas menit lagi gue tampil, tapi Rara belum juga datang. Kegelisahan gue semakin menjadi. Gue takutnya Rara kenapa-kenapa dijalan. Seseorang, tiba-tiba menepuk bahu gue.
“Ma, semangat yah buat penampilan lo hari ini.”
Ternyata Desy, hati gue lega. Kalau Desy sudah ada disini, pasti Rara juga. Tapi, gue nggak melihat Rara disisi Desy. Apa mungkin Rara nggak dateng? Tapi nggak mungkin. Kalau Desy ada disini, Rara pasti bersama Desy. Gue clingak-clinguk nyari dimana wujud Rara.
“Nyariin Rara yah? Rara lagi ditoilet Ma.”
“Oh, iya-iya.”
“Bima, ayo kebelakang stage, 5 menit lagi nih.” Tyo, vokalis band gue manggil gue.
“Des, gue nggak sempet ketemu Rara nih, nitip pesen bilang gue udah mau manggung yah.”
“Oke.”
Gue menuju belakang panggung, hati gue bener-bener nggak tenang kalau nggak melihat Rara sebelum gue manggung. Tapi gue harus profesional, gue nggak boleh melakukan kesalahan karena lagi nggak konsentrasi. Semoga dipanggung nanti gue bisa melihat Rara.
“Oke temen-temen semua, sekarang akan kita saksikan penampilan selanjutnya dari Band Climate. Beri tepuk tangan dooooong.” Teriak MC dari atas panggung.
Gue udah sering tampil dipanggung, tapi kenapa rasa nervouse gue nggak pernah hilang yah. Gue menarik nafas panjang, dan menghembuskannya pelan-pelan. Satu persatu anggota band gue naik keatas panggung. Gue yang terakhir. Petikan gitar sudah mulai terdengar, secara refleks gue mengikuti dengan petikkan bass gue. sambil memainkan lagu pertama, pikiran gue terbagi dua, pertama mencari sosok Rara, kedua ke petikan bass gue. Gue putar mata gue kesegala arah. Namun gue nggak menemukan sosok Rara. Gue perhatikan penonton perempuas satu persatu, namun mereka semua bukan Rara yang gue cari. Saking banyaknya penonton, mungkin itu yang membuat gue sulit mencari Rara. Saat lagu pertama hampir habis, gue melihat ada balon berbentuk hati, berwarna pink dan tertulis “Semangat Bima” di balon itu. Gue tersenyum melihatnya, walaupun hanya balonnya saja yang terlihat, gue sudah yakin bahwa itu adalah Rara. Memang cewek gue selalu punya banyak ide kreatif. Gue baru inget kalau cewek gue nggak terlalu tinggi, pantas saja gue bingung mencari keberadaan dia. Tapi ternyata Rara sudah antisipasi, dengan membuat balon itu. Gue menjadi semakin semangat membawakan lagu-lagu selanjutnya, dan balon itu masih tetap berada disana. Gue senyum-senyum sendiri melihat balon itu. Ingin rasanya cepat-cepat menyelesaikan lagu terakhir dan turun dari atas panggung. Mencari Rara dan memeluknya.
Akhirnya lagu terakhir pun selesai dibawakan oleh band gue. setelah menuju tempat persiapan band gue dan menaruh bass gue, tanpa pikir panjang gue langsung keluar dan menuju tempat penonton. Saking banyaknya ada penonton, gue jadi bingung Rara ada dimana. Gue baru inget, ngapain gue yang repot-repot sendiri ke tempat penonton, Rara pasti udah ada ditempat persiapan band gue. Ah bodohnya gue, gue kembali lagi menuju tempat persiapan band gue, setengah berlari, sampai disana gue melihat temen-temen band gue sedang foto-foto bareng fans.
“Tyo, lu lihat Rara nggak?.” Tanya gue pada Tyo
“Enggak, emang dia dateng?.”
“Dateng, tadi gue lihat dia di antara penonton.” Jawab gue
“Eh, ma tadi ada satpam nitipin balon balonan tuh buat elu, hebat ih sampe satpam pun ngefans sama lo. Hahahahahahaha.” Ucap Feri
Balon? Seketika gue langsung ingat, balon yang tadi gue lihat jangan-jangan.
“Mana sekarang balonnya?.” Ucap gue sedikit panik.
“Ada tuh di atas tempat bass lo.”
Mata gue segera terarah ke tempat yang dikatakan Feri, dan benar balon itu ada. Segera gue ambil balon itu. Ada kartu tertempel di tangkai balon itu. Gue buka kartu itu dan membaca isinya.
Penampilan kamu bagus banget
Suka deh lihat kamu make kaos itu ^^
Rara
Tiba-tiba handphone gue bunyi, tanda ada panggilan masuk. Gue raih handphone ari saku celana, melihat layar dan tersenyum begitu tahu siapa yang memanggil.
“Rara, kamu dimana?.” Segera gue ucapkan saja pertanyaan itu.
“Maaf, aku pulang duluan yah. Tiba-tiba mama nelpon suruh aku kerumah, kami mau ke Bandung. Maaf yah mendadak. Aku juga baru dapet kabarnya tadi. Padahal aku pengen banget ketemu kamu. Tapi tadi sempet lihat kamu manggung, bagus banget loh. Aku suka ngelihat gaya manggung kamu. Hehe. Bima, kenapa kamu diem aja?.”
“Kamu nyerocos udah kaya petasan tau nggak. Sayang, aku pengen ketemu kamu padahal. Yaudah deh. Kapan kamu pulang?.”
“Secepatnya, aku juga belum tahu.”
“Memangnya di Bandung ada apa?.”
“Nggak ada apa-apa, mama minta aku nemenin dia selama di Bandung. Maaf yah, aku usahain cep uhuk uhuk uhuk...” Tiba-tiba telpon Rara mati.
Kenapa dengan Rara, perasaan gue udah nggak enak, kenapa ini? Kenapa tadi Rara begitu batuk mematikan telponnya? Gue merasa ada yang disembunyikan Rara dari gue. Segera gue menghubungi Desy, mungkin saja dia masih ada disini. Tapi sama sekali nggak ada jawaban. Ada apa dengan semua ini? Gue pamit pulang sama anak-anak. Mungkin gue bisa datang ke rumah Rara dan mendapatkan jawaban bahwa Rara memang ke Bandung. Saat gue berjalan ke pintu keluar gue mendengar ada suara ambulans menjauh, pasti habis ada penonton yang kenapa-kenapa nih batin gue. Gue menuju mobil diparkiran, kemudian melesat pergi menuju rumah Rara.
Sampai dirumah Rara, gue menemukan keadaan rumah itu sepi, sepertinya nggak ada orang, tapi gue tetap saja memencet bel rumah Rara. Setelah pencetan bel ke tiga nggak ada respon gue pergi meninggalkan rumah, namun ketika hendak masuk kedalam mobil tetangga Rara nyamperin gue.
“Nyari siapa mas?.”
“Oh, saya mencari Rara dan mamanya.”
“Mamanya Rara? Tadi saya lihat Ibu buru-buru naik taksi.”
Ternyata benar mereka ke Bandung. Batin gue.
“Tapi mas, kalau mbak Rara saya nggak tau mas. Lagipula tadi Ibunya mbak Rara buru-buru banget, dan saya lihat beliau sambil menangis mas.” Lanjut Ibu tetangga itu.
“Nangis? Maksud Ibu?.” Tanya gue meminta penjelasan lebih detail.
“Iya mas, waktu Ibunya mba Rara nunggu taksi, beliau sambil sesenggukan menangis, bahkan saya manggil saja nggak didengar dan setelah taksinya datang Ibunya mbak Rara langsung masuk kedalam taksi.” Ujar Ibu tetangga itu panjang lebar.
“Yaudah Ibu makasi ya bu.”
Gue segera masuk kedalam mobil dan menjalankan mobil. Dipikiran gue berputar-putar kata-kata Ibu tetangga tadi. Buru-buru. Sambil menangis. Ibunya Rara. Ada apa ini? Apa yang nggak gue tahu sampai gue bingung sendiri. Gue meraih handphone gue, memanggil Rara. Namun nggak ada tanggapan, gue ulang-ulang pun sama sekali nggak berubah. Nggak ada tanggapan. Gue beralih menelpon Desy, mungkin saja ada jawaban. Tapi nggak ada jawaban. Gue putuskan untuk ke kost Desy dulu, mungkin saja gue bisa menemukan sedikit ketenangan. Semoga saja Rara benar-benar ke Bandung bersama mamanya. Tapi sampai di kost Desy, kamar Desy terkunci. Kata Ibu kosnya Desy sudah dua hari ini nggak pulang ke kost. Makin resah aja perasaan dan pikiran gue. Karena hari juga sudah hampir malam, gue putuskan untuk pulang kerumah.
**
Ini adalah hari ketiga Rara menghilang dari kehidupan gue. Sama sekali nggak ngabarin gue, bahkan sekarang handphonenya juga nggak aktif. Gue hubungin Desy nyambung namun nggak diangkat. Gue kerumahnya Rara tapi nggak ada siapa-siapa. Ke kost Desy juga nihil, Desy belum pulang. Dua hari berturut-turut gue melakukan hal yang sama. Tapi nggak membuahkan hasil juga. Hari ini gue juga akan melakukan hal yang sama, pergi kerumah Rara. Tanpa sarapan gue menuju rumah Rara, semenjak Rara yang tiba-tiba menghilang dan ngebuat gue nggak tenang ini, gue semakin malas untuk menyentuh makanan apapun. saat mobil gue sudah mulai dekat dengan rumah Rara gue melihat pintu rumah Rara yang terbuka, syukurlah. Mungkin saja Rara sudah pulang. Segera gue parkirkan mobil disepan rumah Rara, dan turun menuju pintu rumah Rara.
“Permisi.” Nggak ada yang menjawab salam gue.
Namun gue mendengar langkah terburu-buru dari dalam rumah, saat itu juga mamanya Rara sudah berada dihadapan gue. beliau terlihat kaget dengan kedatangan gue.
“Pagi tante.” Gue mencoba tersenyum dan memberi salam kepada mamanya Rara, naun wajah mamanya Rara berubah menjadi kaku.
“P..pagi nak Bima.” Jawab mamanya Rara gugup.
“Tante mau kemana?.” Gue menanyakan mamanya Rara yang membawa tas lumayan besar.
“Nggak kemana-mana kok nak Bima, ayoo silahkan masuk dulu.” Ajak mamanya Rara, beliau mempersilahkan gue duduk dan menaruh tasnya diatas sofa.
Saat baru duduk, mata gue tertuju pada kamar yang pintunya setengah terbuka, terlihat suasana pink menyelimuti kamar itu, gue tersenyum melihatnya. Itu adalah kamar Rara. Dimana Rara nggak pernah menutupi apapun yang ada dikamrnya kepada gue. Dikamarnya Rara pun penuh dengan boneka-boneka pemberian gue, juga teman-temannya. Rara suka sekali boneka. Ingin rasanya gue masuk kedalam kamar itu lagi. Gue bangkit berdiri dan menuju kamar Rara. Kamarnya Rapi, dengan nuansa pink disetiap sudutnya. Terpajang foto-foto gue dan Rara, Rara dengan teman-temannya, Rara dengan keluarganya didinding kamarnya, dan yang membuat gue tertarik adalah salah satu foto gue dan Rara saat diBali, waktu itu gue Rara dan teman-teman yang lain liburan di Bali, banyak moment yang diabadikan di Bali. Termasuk moment di foto yang di figurakan ini. Rara pernah cerita sama gue bahwa dia paling suka suasana yang ada di dalam foto ini, benar-benar romantis katanya. Rara juga menginginkan foto ini menjadi foto utama didalam undangan pernikahan kami. Gue ambil foto yang berada diatas meja belajar rias Rara, dan mengingat kembali ketika momen ini diabadikan.
“Bima, sunsetnya lagi bagus nih. Kita foto yuk.” Rara menarik tangan gue dan meminta Desy untuk mengambilkan momen yang begitu indah ini. Saat itu gue memeluk Rara dan mencium kening Rara, dan Rara merangkulkan tangannya dileher gue sambil mengangkat satu kakinya kebelakang. disamping kami terlihat matahari yang besar sedang bersiap-siap untuk tenggelam di ujung samudera sana. Benar-benar romantis. Pantas saja Rara sangat suka dengan momen ini.
“Bima, ini tante buatin jus kesukaan kamu.” Panggilan mamanya Rara membuyarkan lamunan gue.
Gue keluar dari kamar Rara sambil membawa figura itu. Seketika mamanya Rara kaget melihat gue keluar dari kamar Rara dan menjatuhkan gelas berisi jus kesukaan gue. Gelasnya pecah dan jusnya pun berceceran dilantai. Gue kaget dan langsung menghampiri mamanya rara, meminta beliau untuk duduk disofa supaya nggak kena pecahan gelas, gue meletakkan figura itu dimeja dan segera pergi kedapur mengambil lap. Gue membersihkan pecahan gelas itu sampai tidak ada lagi yang tersisa. Sekilas gue melihat mamanya Rara meraih figura foto gue dan Rara, menatap foto itu kemudian menangis. Dengan bingung gue segera membersihkan tangan gue diwastafel dapur, dan menghampiri mamanya Rara.
“Tante kenapa?.” Tanya gue hati-hati.
“Tante ingin cita-cita Rara menikah dengan kamu terwujud.”
“Tante pasti terwujud kok, Bima cinta banget sama Rara tante.”
“Iya, nak Bima.”
Gue bingung dengan kata-kata mamanya Rara barusan. Apa artinya? Memangnya gue nggak bisa menikah dengan Rara? Apa yang menjadi penghalangnya? Saat itu gue baru inget untuk menanyakan dimana keberadaan Rara sekarang, kalau mamanya sudah pulang dari Bandung, kemungkinan Rara juga sudah pulang. Tapi kenapa dia nggak ada dirumah ini sekarang? Apa dia pergi lagi? Segera gue tanyakan keingintahuan gue kepada mamanya Rara.
“Tante, Rara dimana yah sekarang?.”
Namun setelah mendengar kalimat gue, tangisan mamanya Rara menjadi semakin besar. Gue nggak mengerti, dengan apa yang terjadi saat ini, kenapa ketika gue menanyakan Rara mamanya langsung menangis? Cukup lama gue nggak berkata apa-apa lagi. Membiarkan mamanya Rara menangis, gue hanya bisa mendekap mamanya Rara untuk meredakan tangisannya. Walaupun gue nggak mengerti apa maksud dari ini semua.
“Bima, maafkan tante yah.” Tiba-tiba mamanya Rara melepaskan dekapan gue.
“Maaf kenapa ltante?.” Tanya gue bingung.
Tanpa berkata apa-apa, mamanya Rara menuju kekamar Rara, membawa figura itu. Gue mengikuti dibelakangnya. Mamanya Rara meletakkan figura itu ditempatnya dan duduk di tepi tempat tidur Rara.
“Maafkan tante, karena tante nggak pernah memberitahu kamu soal .....”
“Soal apa tante?.” Tanya gue semakin penasaran.
Kembali tangis mamanya Rara pecah, gue menghampiri beliau merangkul dan mengusap-usap pundak beliau. Ada apa ini? Batin gue.
“Rara ..... Rara .... menderita Leukimia.”
Sumpah demi apapun, saat itu juga gue merasa seperti ditimpa batu yang sangat besar. Kepala gue nggak bisa berfikir apa-apa. Hanya terbayang senyum Rara dipikiran gue. benar-benar gue kehilangan kendali kerja otak gue. Tanpa bisa mengatakan apa-apa gue hanya terdiam merangkul bahu mamanya Rara dan berhenti mengusap-usap bahu beliau.
“Sudah semenjak 4 tahun yang lalu.” Mamanya Rara melanjtkan. Menambah gue semakin tidak bisa berfikir apa-apa.
“Sekarang Rara dimana tante?.” Tanya gue dengan suara yang bergetar.
“Dirumah sakit, Rara koma.”
Apa?!!! Koma?! Sejak kapan? Kenapa? Jadi selama ini Rara bukan di Bandung? Segera gue bangkit. Menatap mamanya Rara yang juga menatap gue. Beliau semakin menangis melihat ekspresi kaget yang terpancar diwajah gue.
“Rumah sakit mana tante?.”
**
Setelah mamanya Rara menyebutkan nama Rumah Sakit tempat Rara dirawat. Gue menyetir mobil dengan keadaan setengah sadar, gue merasa ini seperti mimpi. Gue melajukan mobil gue dalam keadaan ngebut, dengan adanya mamanya Rara disamping gue, duduk membisu. Sampai akhirnya di Rumah Sakit, mamanya Rara memimpin gue menuju kekamar tempat Rara dirawat. Gue berjalan dengan terburu-buru mengikuti langkah kaki mamanya Rara. Kemudian beliau berhenti disebuah kamar nomor 99. Beliau membuka pintu kamar itu.
Gue benar-benar tidak percaya dengan apa yang ada dihadapan gue sekarang. Perlahan gue menuju tempat Rara berbaring lemas nggak berdaya. Gue nggak perduli dengan siapa-siapa saja yang ada diruangan itu. Sekarang sedikit demi sedikit gue bisa melihat Rara sepenuhnya. Rara terlihat begitu kurus, dengan tangannya yang tertusuk jarum infus, hidungnya yang ditutupi oleh selang oksigen, dan tubuhnya yang terhubung dengan alat pendeteksi detak jantung, yang dutampilkan di dalam monitor sebelah tempat tidur Rara. Saat itu gue sudah nggak mampu lagi berdiri. Kaki gue yang lemas membiarkan gue jatuh, dan kini hanya lutut gue yang menopang tubuh gue. gue meraih tangan Rara yang tertusuk jarum infus, menciumnya dan menggenggam erat tangannya. Berharap Rara bisa membuka matanya, dan gue dapat melihat senyumannya lagi. Tanpa gue rasakan air mata gue sudah mengalir begitu saja. Tanpa gue berbicara apa-apa, karena gue sendiri juga nggak tahu harus mengatakan apa. Gue mengusa-usap rambut Rara, mencium keningnya berulang-ulang. Melihat monitor tanda jantung Rara masih berdetak, tanpa tahu apa arti dari setiap garis yang muncul disana. Nggak berhenti tangisan gue sampai seseorang menepuk bahu gue.
“Sebaiknya lo nggak mengganggu istirahat Rara dengan terus menangis disisinya seperti itu.” Desy mengingatkan gue.
“Ada yang ingin gue sampaikan. Sebaiknya kita bicara diluar.”
Desy menuju pintu dan keluar, gue bangkit menghapus airmata gue, mencium kening Rara dan pergi mengikuti Desy. Desy duduk didepan kamar Rara. Dia membua sebuah buku bersmpul putih. Gue mengikuti Desy duduk disampingnya.
“Kenapa lo nggak pernah bilang soal ini ke gue?.”
“Ini amanah dari Rara. Gue sebagai sahabatnya hanya ingin membuat dia bahagia.”
“Bahagia? Ini lo bilang bahagia? Rara didalam sedang mempertaruhkan nyawanya. Lo bilang ini kebahagiaan buat dia? Sahabat macam apa lo?!.” Teriak gue, nggak gue pikirkan ini sedang di Rumah Sakit. Gue terlalu emosi dengan kenyataan ini.
“Dan lo fikir Rara akan bahagia seandainya lo tahu tentang penyakit dia?.” Jawab Desy.
“Lo baca diary Rara, baru lo akan tahu seberapa bahagianya dia.” Ucap Desy sambil menyerahkan buku bersampul putih itu.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi gue meraih buku itu. Membuka lembar per lembar buku itu. Ada foto close up Rara yang tertempel dihalaman pertama buku ini. Tulisan paling pertama Rara dibuku ini :
12 December 2002
Hari ini pertamakalinya nulis diary. Diary ini gue namain Nona. Hi Nona, gue Rara. Semoga Non bisa jadi temen curhat gue yang setia yah  bingung ninh mau nulis apa, belum ada kejadian menarik hari ini. Hehehe.
26 Juni 2008
Nona, gue sedih. Ternyata sakit gue selama ini itu sakit yang parah T.T. Gue kena Leukimia, kata dokter Ahn yang menangani gue ini baru stadium awal. Kata dokter Ahn gue bisa sembuh. Semoga ya Non, gue nggak mau buat nyokap gue sedih. Karena mikirin gue aja.
Gue baca lembar perlembar diary ini. Sampai gue menemukan tanggal yang sangat gue ingat.
08 September 2010
Nonaaaaaa! Hari ini hari yang special banget buat gue, hari ini gue jadian sama Bima. Cowok yang gue taksir semenjak SMA. Akhirnyaaaaaaaa kesampaian juga impian gue buat jadian sama dia. Hari ini surprise banget, dengan hadiah yang Tuhan berikan. Benar-benar bersyukur banget Tuhan atas semua kesempatan yang telah Kau berikan. Makasih Tuhan atas semua anugrah ini. Semoga aku bisa menggunakan kesempatan ini dengan sangat baik. Jadi ketika Engkau memanggil aku, aku sudah siap. ^^
Selamat datang dikehidupan aku Bima, gue semangat untuk jalanin hari-hari ini. Karena ada lo disamping gue sekarang. ^^
10 Oktober 2010
Hari ini gue nonton Bima manggung buat yang pertamakali. Suka benget deh lihat dia main Bass. Menyejukkan hati gue banget ^^ I Love You Bima.
19 Desember 2010
Selamat malam Baliiiiiiiii, woaaah seneng banget deh bisa ke Bali lagi hehe. Selamat tinggal Jakarta untuk sementara waktu, mama dan juga Dokter Anh, aku absen check up selama seminggu ini yah. Jangan Khawatirin aku, aku pasti bisa jaga diri aku selama di Bali ^^
Hari ini baru kepantai kuta dulu, asik deh bisa foto-foto didepan Sunset bareng Bima, dapet momen yang romantis pulaa hihi ^^
Nggak sanggup gue menahan air mata ini, semua tulisan, coretan tangan Rara terlihat sangat ceria, sesedih apapun yang dia alami. Rara benar-benar cewek yang tegar. Nggak sanggup rasanya gue membaca tulisan yang terlihat ceria namun pada kenyataannya Rara terbaring lemas nggak berdaya disini. Ingin sekali gue bisa melihat senyum dia lagi, mendengar tawa dia lagi. Seandainya gue bukan pemusik, mungkin gue bisa tahu tentang penyakit Rara ini. Seandainya saja gue nggak sibuk dengan musik gue. Tuhan, izinkanlah Rara untuk bisa bertahan hidup Tuhan, ku mohoon. Hati gue berteriak meminta tolong kepada Tuhan.
10 Januari 2011
Hari ini Bima ngajarin gue main gitar, sulit sih. Tapi gue akan berusaha sampai gue bisa. Hehehe nona doakan gue yah semoga gue bisa ^^
11 Januari 2011
Pagi nona, bangun tidur gue langsung mainin gitar Bima nih, hehe. Masih sulit pindahin jari dari satu kunci ke kunci yang lain. Tapi gue tetap berusaha ^^
13 Januari 2011
Asiiik gitar baru, senengnya deh mama mau ngabulin permintaan gue buat dibeliin gitar, warna gitarnya pink loh Non, warna kesukaan gue ^^
19 Januari 2011
Hari ini gue check up, gara-gara mimisan lagi non. Padahal gue mau ngasih lihat permainan gitar gue ke Bima. Gue sudah bisa satu lagu loh Non. Tapi next time maybe ^^
Maaf yah Bima ^^
14 Februari 2011
Woooooow dapet kejutan dari Bima ^^ seneng banget hari ini bisa nonton dan makan malam bareng Bima. Amazing day. Dan makasi Bima atas bonekanya. Suka banget. Buat nemenin aku tidur yah ^^^
15 Februari 2011
Pagi Nona, lemes nih gue, pagi ini gue mimisan hebat. Sampe boneka pemberian Bima semalam kena darah. Maavin aku ya Bima. Kata mama gue harus di opname. Gue nggak mau. Gue masih sehat, maafin Rara yah ma, bukannya Rara nggak nurut. Tapi Rara ngerasa baik-baik aja. Mimisan buat Rara udah biasa ^^
10 April 2011
Pagi nona, hari ini kepala gue pusing banget. Tapi nggak papa kok, paling ntar siang juga hilang. Oh iya hari ini adalah penampilan perdana Bima, gue mau nonton dia ^^
Non, gue mimisan lagi. Kata mama gue harus ke dokter. Mama maksa non, mau nggak mau nih gue ikutin kemauan mama, karena gue juga ngerasa pusing sedikit. Tapi gue harus ikutin kemauan ama, biar nanti sore gue bisa pergi ke tempat Bima. ^^
Sepuluh April duaribu sebelas, terakhir Rara menuliskan coretannya. Tuhan tolong, jangan buat ini menjadi tulisan Rara yang terakhir. Aku mohon Tuhan. Saat membalikkan halaman belakang buku diary Rara, gue menemukan sebuah kepingan CD RW berwarna putih hanya bersampul plastik buram. Apa ini? Ketika gue buka, terdapat tulisan dipinggir kepingan CD itu. “Made with Love”. Gue ingin tahu apa isi dari CD itu. Tapi saat ini gue nggak bawa Laptop, dan Desy juga gue yakin dia nggak membawa Laptopnya. Mungkin nanti saja gue lihat isinya. Gue bangkit berdiri dan masuk kedalam kamar rawat Rara. Rara masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Oh Tuhan, rasanya hati gue perih banget melihat semua ini. Gue lihat mamanya Rara duduk disamping tempat tidur anaknya, menggenggam tangan Rara terus. Nggak kepengen mengganggu kebersamaan Rara dengan mamanya, gue memutuskan untuk keluar lagi dan duduk di tempat duduk tadi. Gue meraih handphone gue dan melihat layarnya. Walpapper gue dan Rara yang sedang tersenyum bahagia. Kami terlihat serasi sekali. Gue tersenyum, menahan tangis agar air mata ini nggak jatuh lagi. Apakah hanya sampai disini saja? Apakah gue dan Rara nggak bisa bersama-sama? Selamanya? Begitu banyak pertanyaan gue dan nggak satupun yang terjawab. Tiba-tiba seseorang menyodorkan sebotol air minum. Saat gue melihat siapa yang memberikannya, ternyata Desy. Gue nggak meraih air minum itu.
“Rara nggak akan seneng kalau ngelihat lo seperti ini.” Ucap Desy, tanpa ada tanggapan dari gue.
“Waktu nonton konser pertunjukkan lo, Rara bilang sama gue ... bahwa dia ngerasa bahagia banget tiap denger lo main gitar. Bahkan Rara kepengen banget bisa duet sama lo diatas panggung. Gue berharap saat itu kata-kata Rara bisa terwujudkan. Tapi Rara keburu koma.”
“Kenapa lo biarin Rara nonton konser gue, sedangkan lo udah tau keadaannya Rara lagi nggak baik?.”
“Gue nggak tau saat itu Rara lagi dalam kondisi nggak baik. Rara nggak bilang sama gue!”
“Tapi seenggaknya lo tau Rara sakit!”
“Gue memang tau, tapi Rara minta gue untuk jangan pernah khawatirin keadaan dia. Rara juga nggak pernah menunjukkan bahwa dia sakit. Itu yang ngebuat gue berhenti menghawatirkan dia.”
“Saat konser lo, sebenarnya Rara harus dirawat di Rumah Sakit. Tapi Rara ngotot buat nonton konser lo .... mamanya Rara nggak ngizinin Rara pergi, tapi karena Rara ngancem nggak mau minum obat lagi kalau nggak dikasih pergi, akhirnya Rara pergi ditemani gue. Tapi sebelum ketempat lo, Rara minta diajak pulang untuk ngambil balon. Pas ditempat konser Rara bilang mau ke toilet. Gue diminta buat nemuin lo dulu, gue dititipin balon dia juga, gue udah lihat lo, tapi gue nggak mau nyamperin lo dengan ngebawa balon itu, balonnya gue titipin dulu disalah satu satpam. Kemudian gue nemuin lo, setelah lo mau naik panggung Rara sms gue supaya pergi ke area penonton buat nunjukkin balonnya ke elo diatas panggung dan kalau dia belum keluar dari toilet gue diminta nitipin balon itu buat lo. Saat itu gue langsung nelpon Rara, nanya ngapain dia ditoilet lama banget, dia bilang lagi sakit perut. Oke gue ikutin kemauan dia, tapi sampai lagu pertama selesai Rara nggak juga ngehubungin gue, akhirnya gue hubungin dia lagi. Tapi nggak ada jawaban. Malah tulalit. Awalnya gue mikir di toilet mungkin nggak ada signal. Tapi perasaan gue tiba-tiba nggak enak, setelah lo turun dari panggung, gue tetep menghubungi Rara, awalnya nyambung tapi berakhir dengan tulalit. Saat gue meuju toilet gue ketemu satpam yang gue titipin balon tadi, gue inget pesen Rara buat ngasih balon itu ke elo, tapi karena kondisinya lagi membingungkan gue nitipin lagi balon itu ke satpam dan minta satpam itu buat ngasih ke elo ......” Desy menarik nafas panjang dan menahan tangisnya agar nggak pecah.
“Dan saat gue ke toilet, disana rame banget. Gue pikir ada keran bocor. Tapi ternyata Tara ..... Tara pingsan, darah berceceran dilantai ... dan ..... dan ... saat itu gue udah nggak bisa berfikir apa-apa. Gue nelpon Ambulans untuk membawa Rara ke rumah sakit. Gue bener-bener bodoh sekali saat itu. Gue bukannya selalu ada disamping Rara, tapi malah ngikutin kemauan Rara. Waktu Rara mendapat perawatan, gue mau menghubungi lo. Tapi Rara ngirimin ini ke gue.” Ucap Desy panjang lebar kemudian meyerahkan Handphonenya ke gue.
Desy, thankyou yah udah mau capek-capek nolongin gue. lo tahu gue bahagia banget, walaupun gue nggak bisa lihat Bima langsung. Des, gue nggak mau Bima tahu tentang penyakit gue, gue mohon. Sangat-sangat gue mohon 
“Itu yang ngebuat gue nggak bisa ngasih tahu elo. Nyokapnya Rara juga dipesenin seperti itu sama Rara semenjak dia baru jadian sama lo. Alasannya simpel. Dia nggak mau lo ikut menanggung penderitaan yang dia rasain. Setelah seharian Rara nggak sadar, Rara dinyatakan koma oleh dokter Ahn. Saat Rara koma, nyokapnya memberikan diary Rara ke gue, dan meminta gue untuk meneruskannya ke elo.”
Mendengar cerita Desy, ngebuat gue semakin nggak bisa berkata apa-apa. ngebuat gue menjadi semakin frustasi. Ngebuat gue benar-benar nggak ingin hidup lagi. Tiba-tiba mamanya Rara memanggil gue, dan meminta gue untuk bertemu dengan Rara.
“Nak Bima. Tolong temani Rara.”
Dengan segera gue bangun dan masuk kedalam kamar rawat Rara. Mamanya Rara mengikuti dibelakang gue. Rara masih dalam keadaan yang sama, nggak berubah. Gue menggenggam erat tangan Rara. Berharap bisa mendapat balasan hangat dari genggaman tangan gue ini, bukan kedinginan yang gue rasakan dari tangan Rara seperti saat ini.
“Bima, Rara sudah cukup lama menderita, walaupun Rara terlihat ceria dan nampak biasa-biasa saja. Tapi tante tahu bahwa Rara sudah bosan menjalani kehidupan yang seperti ini. Tante sudah kuat melepaskan Rara. Karena tante tahu mungkin Rara berhak mendapatkan tempat yang lebih baik lagi disana.”
Mendengar penuturan mamanya Rara membuat air mata gue kembali menetes, apakah memang ini jalan yang harus Rara lalui? Apakah Rara memang nggak bisa disembuhkan lagi? Apakah harus secepat ini? Kenapa Tuhan? Kenapa?? Gue menangis tanpa gue tahan-tahan lagi. Gue nggak ingin kehilangan Rara, gue ingin dia tetap besama gue.
“Rara, aku sayang sama kamu. Maafin aku nggak bisa ngasih yang terbaik selama kamu menjalani hari-hari kamu bersama aku. Aku ... aku bener-bener sayang sama kamu Rara. Aku ingin bisa sama kamu selamanya, aku .... aku cinta kamu, nggak ada yang bisa menjadi yang terbaik buat aku selain kamu ... Rara aku ingin bahagia sama kamu. Please bangun Ra please.”
Saat itu gue merasa tangan Rara menggenggam erat tangan gue. Gue kaget dan nggak percaya. Namun dengan saat yang bersamaan gue mendengar bunyi datar yang panjang dari monitor yang ada disebelah tempat tidur Rara. Gue lihat garis panjang berwarna hijau itu terus berjalan seiring dengan bunyi datar itu. Mamanya Rara keluar memanggil dokter, ketika dokter Ahn masuk, gue bergeser membiarkan dokter Ahn memeriksa Rara. Ya Tuhan, apakah ini saatnya? Gue melihat Desy memeluk mamanya Rara yang menangis, bukan hanya mamanya Rara yang menangis namun Desy juga menangis. Gue hanya menatap Rara yang dibantu dengan berbagai macam alat untuk mengembalikan detak jantungnya. Namun upaya dokter Ahn dengan para doketer lainnya tidak membuahkan hasil. Rara pergi meninggalkan dunia ini. Buat selamanya.
“Nak Bima, ini tante buatkan jus kesukaan kamu.” Gue melihat mamanya Rara masuk kedalam kamar Rara dan memberikan segelas jus tomat kesukaan gue. gue tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada beliau.
“Gimana band kamu? Udah ngeluarin album lagi?.” Tanya beliau.
“Kalau nggak ada halangan April ini keluar tante, doakan yah.”
“Pasti dong, yaudah tante mau kedapur dulu yah. Dihabisin loh jusnya.”
“Iya tante, pasti.” Jawab gue sambil mengacungkan jempol kearah mamanya Rara.
Setelah mamanya Rara pergi gue meletakkan jus tomat yang sudah setengah itu diatas meja rias Rara, dan meraih figura yang berada disana.
“Sudah hampir satu tahun semenjak kepergian kamu Rara, tapi aku sama sekali nggak bisa ngelupain kamu.” Ucap aku kepada foto difigura itu.
Gue letakkan kembali figura itu, dan mengambil kepingan CD yang berada diatas buku diary Rara. Kepingan CD yang nggak pernah membuat gue bosen untuk menontonnya. Karena hanya ini yang bisa membuat perasaan gue kembali tenang setiap kangen dengan Rara. Gue masukkan kepingan CD itu kedalam Laptop gue sambil menunggu film didalam CD itu mulai gue raih gelas jus yang ada dimeja dan meminumnya sambil menikmati film ini.
“Hallo semuaaaaa. Hari ini gue mau memperkenalkan seseorang yang sangaaaaaaaaaaaat special buat gue. Namanya Bima. Bima Satria. Bima, say hello dulu dong.” Suara ceria Rara ketika sedang merayakan ulang tahunnya bersama Bima. Kamera yang tadi penuh dengan wajah Rara, kini berpindah objek kearah Bima yang sedang berada disebelah Rara
“Hello semuaaaaaa.” Jawab Bima
Kemudian Video itu berganti lagi ke wajah Rara, namun sudah berbeda suasana, kini Rara sedang berada didalam kamarnya yang bernuansa pink. Rara sedang memeluk sebuah boneka yang besar.
“Hay Bima, apa kabar? Hehehehe kangen sama kamu nih, tapi karena kamu jauh aku Cuma bisa meluk boneka kamu aja nih. Bima aku sayaaaaaaaaaaaaang banget sama kamu. I Love You So Much.”
Kemudian Video itu berganti lagi ke momen lainnya, saat Rara dan Bima diBali merayakan liburannya. Saat Bima sedang konser, namun gerakan didalam video itu diperlambat dan dihilangkan suara aslinya, diganti dengan iringan Lagu ciptaan Bima. Setelah itu muncullah foto-foto Bima dan Rara. Semua foto-foto kenangan mereka saat bersama, dan ketika video itu sudah hampir habis, Rara menuliskan kalimat berjalan untuk Bima didalam video itu.
Bima sayang, maafin aku ya.
Aku hanya nggak mau kamu ikut merasakan sakit ini.
Aku percaya bahwa kamu orang yang kuat.
Tetaplah menjadi pemusik seperti yang kamu inginkan.
Aku akan selalu mendukung kamu.
Seandainya aku duluan pergi, jangan pernah susul aku.
Aku percaya bahwa kamu bisa menjadi yang terbaik, didunia.
Karena kamu sudah menjadi yang terbaik di dunia ku.
Semenjak ada kamu didunia ku, hidup aku serasa selalu berarti setiap harinya.
I Love You Bima :*
**

No comments:

Post a Comment